Peranan Dewan Pers Dalam Mengawasi Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik

19 12 2009

Pendahuluan

Setelah jatuhnya Era Orde Baru pada tahun 1998, dimasa pemerintahan Presiden Soeharto, pers dalam posisi sangat mengkhawatirkan dikarenakan pada era orde baru khalangan pers dan penerbitannya terkekang oleh aturan yang keras, dan terlalu dikontrol oleh penguasa, serta dianggap mengekang pers dalam memberikan informasi kepada masyarakat, memang pada masa itu pers berada dalam kontrol Departemen Penerangan, yang mempunyai fungsi mengawasi setiap pemberitaan pers, dan melakukan penindakan apabila pers melakukan pemberitaan yang menyudutkan pemerintah, dengan sanksi mulai dari dicabutnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) atau pembredelan tanpa pemberitahuan yang jelas.
Fungsi Dewan Pers pada masa Presiden Soeharto, memang terlihat tidak mempunyi fungsi yang berarti, semua persoalan mengenai pers dilakukan dan diawasi sepenuhnya oleh Departemen Penerangan. Selang beriringnya waktu, era orde baru mengalami kejatuhan, dimana pada saat itu ratusan ribu mahasiswa menuntut turunnya era orde baru yang dinilai selama ini menjalankan pemerintahannya dengan system otoriter.
Saat jatuhnya Era Orde Baru dimulailah suatu tatanan baru dimana mulai lantangnya berbunyi REFORMASI, di era reformasi inilah dimulainya kebebasan berdemokrasi dimana segala system yang dilakukan pemerintahan orde baru di revisi kembali, salah satunya adalah mengenai kebebasan pers. Didalam makalah ini penulis mengkaji peranan dewan pers dalam mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.


Rumusan Permasalahan dan Pembahasannya.

Pada tanggal 23 bulan September 1999 Presiden BJ.Habibie mengesahkan Undang-Undang RI no 40 tahun 1999 mengenai PERS. Dimana salah satu isi didalamnya mengenai kinerja Dewan Pers.
Dalam UU no 40 tahun 1999, Bab II pasal 2 yang berbunyi “ Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Dalam pasal ini penulis membahas mengenai ketegasan supremasi hukum, bahwa sesungguhnya hukum memang mempunyai peranan penting dalam sebuah Negara, akan tetapi banyak tafsir mengenai pasal ini, karena hukum dalam pasal ini dikategorikan ke hukum pers atau hukum pengadilan.
Bila sesungguhnya hukum tersebut dikategorikan dalam hukum pers, maka hukum tersebut mengenai pers itu sendiri dan meliputi kode etik pers dan penerbitan karya jurnalistik, akan tetapi bila masuk dalam ruang lingkup hukum pengadilan maka akan terjadi distorsi dalam penegakan hukum. Dan memang selama ini yang terjadi masuknya ruang lingkup pers dalam hukum itu sendiri mulai mengakibatkan adanya salah tafsir dalam masyarakat, misalnya mengenai kasus Bibiet dan Candra, dimana dalam kasus tersebut pers yang selama ini memberikan informasi kepada masyarakat mengenai persoalan kedua ketua KPK tersebut, masih kurang berimbang karena masih terfokus pada informasi satu sisi saja, dan ini mengakibatkan adanya suatu tafsir dalam masyarakat bahwa apa yang diinformasikan oleh pers adalah benar adanya.
Dalam kasus seperti diatas seharusnya Dewan Pers bisa mengakomodir adanya salah tafsir atas pemberitaan tersebut. Karena sesungguhnya pers situ sendiri mempunyai peranan yang penting dalam era reformasi ini, dan pers seharusnya kembali kepada kodratnya sebagai salah satu unsur pengawas pemerintah dalam memberitakan, menginformasikan secara utuh, jelas, adil dan berimbang.
Memang dewasa ini pers telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan, dengan adanya kebebasan pers yang didukung oleh UU no 40 tahun 1999, pers mulai melakukan pembenahan setelah sekian lama mati suri pada masa orde baru. Dewan Pers memang telah melakukan pembenahan mengenai kode etik jurnalistik dan hasil karya jurnalistik, akan tetapi menurut penulis, Dewan Pers saat ini masih kurang dalam melakukan pengawasan kepada pers itu sendiri. Dalam pasal 5 ayat 1 dinyatakan “ pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”, tapi pada kenyataannya pasal ini sering dilanggar, asas praduga tak bersalah dalam kutipan pasal tersebut sering kali tidak begitu diperhatikan.
Dan ketentuan yang ada dipasal 7 ayat 2 yang berbunyi “ wartawan memiliki dan mentaati kode etik jurnalistik” dimana jelas etika yang dimaksud dalam pasal ini adalah mutlak sebagai ketentuan hukum, kode etik disini berkaitan dengan pasal 1 ayat 14 yang isinya mengenai “ kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan ”. berarti Dewan Pers seharusnya dapat memperhatikan persoalan tersebut diatas.
Terkait dengan hubungan peranan Dewan Pers dalam mensikapi salah satu persoalan diatas, dan pengawasannya untuk menegakan kode etik jurnalistik, maka seharusnya dewan pers dapat bersikap tegas, apapun permasalah yang telah terjadi dewan pers bisa membuat suatu paradigma dalam penyelesaian kasus tersebut. Dalam UU no 40 tahun 1999 Bab V mengenai Dewan Pers, Pasal 15 ayat 2 “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : Pasal 2C yang menyatakan “ menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik” dan Pasal 2D “ Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”. Jelas maksud dalam pasal ini Dewan Pers mempunyai fungsi yang mutlak dalam pengawasan terhadap pers khususnya dalam pengawasan kode etik dan upaya penyelesaian kasus terhadap pemberitaan pers.
Bila Dewan Pers dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh UU tersebut, maka akan tercapainya suatu peran pers yang baik dalam membantu masyarakat dalam mendapatkan informasi secara utuh, jelas, adil dan berimbang, dan jika itu terjadi pers akan mempunyai nilai yang positif, baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
Didalam teori-teori pers, ada salah satu teori yaitu Teori Social Responsibility ( Teori Tanggung Jawab Sosial ) yang mana menuntut kepada pers dan hasil karya jurnalistik untuk memiliki suatu tanggung jawab sosial, dan teori ini menganggap kebebasan mutlak banyak mendorong terjadinya dekadensi moral, serta seharusnya pers perlu dan harus menggunakan dasar moral dan etika.
Teori tersebut haruslah dijadikan acuan oleh Dewan Pers dalam melakukan tugasnya dalam mengawasi pers dan hasil karya jurnalistik, yang nantinya akan berguna bagi pers itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk tolak ukur kebebasan pers itu sendiri.

Saran

Adanya kebebasan pers saat ini merupakan hal yang baik bagi semua pihak termasuk penulis sendiri, karena bagaimanapun juga memang seharusnya pers mempunyai peranan yang penting bagi suatu bangsa, apalagi bagi bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi sebagai suatu system yang baik, sesuai dengan pasal 6B yang menyatakan “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan”. Disini penulis bukan mempersoalkan kebebasan pers, akan tetapi penulis mempersoalkan peran Dewan Pers dalam mengawasi pers itu sendiri, bagaimanapun juga Dewan Pers seharusnya bisa meningkatkan kinerjanya dengan lebih baik dan menggunakan haknya untuk memberikan sanksi kepada para pelanggar dengan sanksi yang tegas.
Untuk itu penulis dengan penuh harapan agar semua persoalan mengenai pers dan hasil karya jurnalistik harus menggunakan etika dan moral dalam melakukan pemberitaan dan mengiformasikan berita dan opini kepada masyarakat dengan sebenarnya dan berimbang serta mengutamakan asas praduga tak bersalah, dan hal ini harus menjadi pilar utama bagi kemajuan pers yang mulai masuk dalam perannya sebagai salah satu unsur dari kontrol dari jalannya pemerintahan.
Dewan Pers juga, penulis harapkan agar dapat mengkaji kembali UU no 40 tahun 1999, tentang Pers sesuai dengan ketentuan yang penulis persoalkan tersebut, hal ini dapat menjadi sebagai acuan dalam kewenangan Dewan Pers untuk menangani persoalan-persoalan yang menjadi kisruh dalam arti kemerdekaan pers itu sendiri.


Actions

Information

Leave a comment